Home / Temukan Gagasan

Blog

Debu Batubara di Pundak Perempuan Marunda Jakarta

13/05/2022

Penulis: Widia Primastika dari Trend Asia

Setiap orangtua pasti ingin anaknya lahir dengan sehat dan hidup layak, tak terkecuali Erna Santika ketika melahirkan anak keduanya, Maekel, 5,5 tahun lalu. Kala itu, Ia masih tinggal di pinggir Sungai Lodan, Ancol. Perempuan itu bahagia tak terhingga ketika dokter menyatakan anaknya lahir dengan kondisi sehat dan selamat.

Sekitar dua tahun berselang sejak kelahiran putra keduanya, tepatnya pada tahun 2018, Erna beserta suami dan anak-anaknya dipaksa pindah dari tempat tinggalnya ke Rusunawa Marunda untuk program normalisasi sungai. Sebelum Ia pindah, Gubernur DKI Jakarta yang menjabat saat itu yakni Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok menjanjikan warga Lodan hunian yang lebih layak.

Rusunawa Marunda merupakan kompleks Rumah Susun yang terdiri dari 28 tower. Ada sekitar 2.500 KK yang menghuni kompleks itu. Warga Rusunawa Marunda merupakan warga yang terdampak penggusuran DKI Jakarta sejak zaman Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo hingga Anies Baswedan.

Apabila melihat bangunan luar Rusunawa Marunda, kita mungkin akan berpikir sama: bangunan ini memang layak untuk ditinggali dari sisi bentuk bangunan. Rusun ini juga jauh dari kebisingan jalan raya Cilincing yang disesaki truk berbadan besar berklakson garang. Pepohonan rimbun di sepanjang jalan yang memisahkan tower-tower Rusunawa Marunda pun cukup mampu mengubah stereotype kawasan utara Jakarta yang panas. Namun, semua bayangan tempat tinggal layak hilang akibat debu batubara dari stockpile yang berada tak jauh dari lokasi Rusunawa Marunda. Bahkan bagi Erna Santika, kepindahannya ke Rusunawa Marunda merupakan petaka bagi kesehatan putranya.

Warga membersihkan salah satu bagian ruang yang ada di Rumah Susun Sederhana (Rusunawa) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (18/4/2022). 
Bersihkan Indonesia/Melvinas Priananda

“Saya dulu gusuran Lodan, Ancol. Pindah ke sini dijanjikan tempat tinggal yang layak. Waktu saya lihat tempat ini, ya, saya pikir enggak ada masalah sama tempatnya. Tapi sekitar tahun 2019 anak saya sakit, sesak napas, sampai dilarikan ke Rumah Sakit Cilincing. Waktu ke sana dokter tanya, apa ada yang merokok di rumah, tapi enggak ada yang merokok di rumah saya. Lalu dia tanya, apa ada orang bakar sampah. Nah saya tinggal di lantai lima begini mau bakar sampah di mana? Diperiksa rekam jejak keturunannya, semua sehat, enggak ada yang punya asma. Anak saya juga lahir sehat,” ungkap Erna.

Pada akhirnya, Erna pun mengetahui bahwa batubaralah yang menjadi penyebab kesehatan anaknya memburuk. Debu batubara itu masuk ke pemukiman Rusunawa Marunda sejak tahun 2019. Debu itu terbang dari stockpile batubara yang berada di belakang sekolah SLBN 8, SDN Marunda 05, dan SMP 290, ketiga sekolah tersebut berada di lokasi yang sama, di seberang blok D3 Rusunawa Marunda. Lokasi ketiga sekolah dengan stockpile batubara itu sekitar ratusan meter. Saya masih bisa melihat stockpile dengan jelas dari jendela sekolah dan tembok terbuka di blok D3. Tentu saja, saat di lokasi ini saya tak berani menggosok mata yang kelilipan.

“Saya sekarang punya nebulizer di rumah karena anak saya kalau sesak napas harus segera dipakein nebulizer. Daripada ke puskesmas atau rumah sakit, sekali berobat bisa habis Rp150.000,- jadi saya memutuskan beli sendiri. Saya takut kalau terlambat seperti sebelumnya itu sampai harus masuk ICU,” tutur Erna.

Sakit pernapasan ini berdampak pada pendidikan Maekel. Erna dan suaminya terpaksa mengeluarkan anaknya dari sekolah karena Maekel tak kuat naik-turun Rusunawa setiap hari. Erna bilang, untuk turun dari unitnya di lantai lima sampai ke lantai satu saja, Maekel sudah ngos-ngosan. Apalagi kalau harus naik ke lantai lima sepulang sekolah. Belum lagi, Ia juga sering membolos karena berobat.

Debu yang masuk ke pemukiman warga itu tidak hanya mengganggu kesehatan Maekel, tapi juga warga lainnya, seperti batuk-batuk, iritasi mata, dan gatal-gatal. Debu batubara itu semakin tebal di musim penghujan, khususnya pada bulan Januari sampai Maret, ketika arah angin berembus ke darat. Di masa ini, warga tak cukup hanya mencuci piring setelah dipakai makan.  Piring-piring itu juga harus dicuci ketika hendak dipakai makan karena kembali menghitam.

Riza Maulana, seorang warga Rusun Marunda bercerita, suatu kali setelah pulang kerja, Ia langsung mengambil gelas di dapur dan lupa mencuci gelas. Selesai minum, Ia tersadar bahwa bibirnya penuh dengan debu hitam.

Erna mengatakan, di bulan Januari sampai Maret, penghuni rusun bisa menyapu unitnya lebih dari empat kali sehari. Erna pernah jengkel karena debu yang tak berhenti  menutupi ruang makan, kamar dan ruang keluarga, hingga akhirnya Ia menyimpan debu yang Ia sapu sebagai bukti.

“Saya pernah karena jengkel harus menyapu terus, akhirnya saya kumpulkan debu hitam itu. Jadi itu karena sebelum tidur jam sepuluh malam saya sudah nyapu, terus bangun jam tujuh pagi depan rumah hitam semua. Akhirnya saya masukin plastik seperempat kilo, itu debunya sekitar setengah plastik. Itu baru dari unit saya,” ungkap Erna.

Saat musim debu tebal, Erna dan beberapa warga pun memilih untuk berada di dalam rumah, menutup pintu dan jendela agar debu tak mengotori bagian dalam rumahnya. Tentu saja ini membuat sirkulasi udara di rumahnya jadi pengap. Namun bagi Erna, itu terpaksa dilakukan agar penyakit anaknya tak semakin parah dan berdampak pada pengeluaran keluarganya.

 

Warga penghuni Rumah Susun Sederhana (Rusunawa) Marunda merapikan alat bantu pernapasan untuk anaknya, Senin (18/4/2022). Bersihkan Indonesia/Melvinas Priananda

Di lantai tempat Erna bermukim, Ia dan para tetangga pun berinisiatif untuk memasang jaring agar debu yang masuk ke pemukiman tak sebanyak ketika tanpa jaring. Namun, bukan berarti jaring itu membuat mereka aman karena yang tersaring hanyalah debu berpartikel besar, sedangkan debu kecil masih bisa menembus jaring hijau itu.

Selain Erna, ada juga Eni, perempuan berusia 49 tahun yang terdampak oleh hujan debu batubara di Marunda. Eni sudah menempati Rusunawa Marunda sejak tahun 2017, sama seperti Erna, Ia mulanya tinggal di kawasan Sungai Lodan, Ancol. Sejak pindah ke Rusunawa Marunda, Eni biasa mengisi aktivitas hariannya dengan berjualan makanan di depan unit.

“Sambil menemani cucu, biasanya sih jualan, jam tujuh pagi buka, nanti tutup kalau udah habis stoknya atau kadang malam tutupnya. Jualan makanan kayak sosis bakar gitu, jajanan anak-anak,” tutur Eni yang saat itu sedang duduk di depan unit Rusunawa Marunda.

Namun, sejak debu batubara mengguyur pemukiman Rusunawa Marunda, Eni tak lagi berjualan. Hal ini terpaksa dilakukan ketimbang Ia berjualan dengan makanan yang mengandung debu.

“Pakaian yang dijemur di depan rumah dan piring yang sudah saya cuci saja bisa kotor lagi. Kalau saya jualan makanan, sudah pasti debu akan masuk ke makanan jualan. Daripada makanan yang saya jual itu kena debu dan berpotensi beracun, ya mendingan saya enggak jualan. Lagian kalau saya jualan di lingkungan berdebu, mana ada orang mau beli makanan saya?” ujar Eni.

Kini, sudah hampir dua tahun Eni tak berjualan karena Ia sudah tak punya modal. Eni dan keluarganya hanya mengandalkan upah bekerja dari anaknya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Debu batubara itu tak hanya menghilangkan sumber pendapatan bagi Eni, tetapi juga membuat anaknya terserang penyakit kulit dan sakit batuk pada cucunya.

“Anak saya itu kulitnya gatal-gatal, jadi seperti borok di tangannya. Kalau cucu saya, batuk-batuk. Makanya kalau pas musim debu tebal, mereka enggak saya bolehin keluar rumah, daripada sakit. Bahkan kalau Rusun ini kelihatan bersih aja saya tetap waswas, saya takut debu itu bikin penyakit ke cucu saya. Cuma kan kasihan kalau anak dikurung di rumah terus, jadi kalau debunya mendingan, saya kasih mereka main keluar,” tutur Eni.

Perasaan waswas Eni untuk bukan ketakutan yang berlebihan, sebab Ia sudah melihat bagaimana kesehatan akibat debu batubara mengganggu pendidikan dan ekonomi tetangganya. Eni tak ingin warga Rusunawa Marunda diberi solusi palsu atas masalah debu batubara seperti penggantian biaya pengobatan atau kompensasi. Ia hanya ingin debu itu tak lagi masuk ke pemukimannya.

“Saya kan penginnya cucu saya itu berhasil, jadi orang sukses. Percuma saja kalau perusahaan cuma janji mau bayarin warga yang sakit, masalahnya itu bukan cuma sakit terus sembuh, tapi kalau sakit sampai mengganggu pendidikan, lalu merusak organ tubuh orang, itu namanya mengganggu masa depan. Makanya saya jaga betul cucu saya ini. Kalau sampai cucu saya sakit atau kenapa-kenapa, saya enggak takut untuk marah! Makanya perusahaan harus menjamin debu itu enggak masuk lagi ke pemukiman kami, jangan sampai ada warga yang sakit lagi.”

Erna dan Eni kini bergabung bersama Forum Masyarakat Rusunawa Marunda dan Sekitarnya (F-MRM) yang terus berjuang menuntut pemulihan lingkungan dari guyuran debu batubara pelabuhan Marunda. Sejak tahun 2019 warga terus melakukan audiensi, dan berdiskusi dengan sejumlah pihak, termasuk pemerintah dan perusahaan. 

Warga juga melakukan aksi untuk menyampaikan dan memperjuangkan hak warga atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas kesehatan serta hak atas pendidikan bagi anak-anaknya. Sampai akhirnya pada tanggal 14 Maret 2022 lalu, Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara memberikan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah kepada PT Karya Citra Nusantara (KCN) yang telah mengancam kesehatan warga karena debu batubara. Namun sampai pertengahan Mei ini, sanksi tersebut belum juga ditaati oleh PT. KCN selaku pelaku pencemaran lingkungan akibat debu batubara dan bahkan debu batubara pun masih ada dan terus mengikis kesehatan warga sekitarnya.

 

Baca juga:

  1. https://news.detik.com/x/detail/investigasi/20220328/Bocah-bocah-Marunda-Diserbu-Debu-Batu-Bara/
  2. https://news.detik.com/x/detail/investigasi/20220329/Menyisir-Biang-Pencemaran-Debu-Batu-Bara-Jakarta/
  3. https://megapolitan.kompas.com/read/2022/04/06/08522091/sengkarut-penyelesaian-pencemaran-debu-batu-bara-di-marunda-warga-kecewa?page=all
  4. https://www.kompas.id/baca/metro/2022/03/25/debu-batubara
  5. https://projectmultatuli.org/batubara-mampir-di-paru-paru-warga-marunda/

#BersihkanBankmu is supported by